BLORA,LINTASUPDATE.ID – Ketegangan di kawasan hutan Desa Kajengan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, memuncak pada Senin (3/11/2025) siang, ketika ratusan petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) Tirto Kajengan menahan atau 'menyandera' sejumlah pekerja Perhutani.
Aksi ekstrem ini dilakukan sebagai bentuk protes keras atas inkonsistensi pelaksanaan Surat Keputusan (SK) Reforma Agraria yang telah diserahkan Presiden dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada kelompok masyarakat.
Aksi yang berlangsung di bawah terik matahari ini dipicu oleh aktivitas pekerja Perhutani di lahan yang diklaim KTH sebagai areal Perhutanan Sosial berdasarkan SK 185 dan SK 192. Juru bicara aksi, Jojok, dengan tegas menyatakan bahwa Perhutani KPH Blora telah membangkang terhadap keputusan negara.
"Kami sudah memegang SK dari Presiden, dari Kementerian. SK 185 dan 192 itu jelas untuk rakyat. Tapi Perhutani membangkang. Mereka tetap menggarap lahan ini," teriak Jojok di hadapan massa, menuntut Administratur (ADM) KPH Blora untuk segera hadir dan bertanggung jawab.
Peristiwa ini menjadi letupan dari proses panjang konflik agraria di Blora, wilayah yang merupakan simbol kontradiksi antara kekayaan hutan jati negara dan kemiskinan rakyat di sekitarnya. Meskipun Presiden Joko Widodo pada 10 Maret 2023 telah menyerahkan SK Perhutanan Sosial yang memberi hak kelola kepada KTH, implementasi di lapangan terkendala.
Anggota KTH, Suyanto, mengungkapkan kekecewaan karena lahan yang dijanjikan justru masih dikelola Perhutani untuk tanaman industri seperti tebu, membuat rakyat hutan merasa diabaikan dua tahun pasca-seremoni penyerahan SK.
Hingga berita ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari ADM KPH Blora. Namun, sumber internal Perhutani menyebutkan bahwa pihak mereka merasa bertanggung jawab menjaga aset negara dan berpandangan bahwa proses redistribusi lahan memerlukan mekanisme teknis yang ketat untuk mencegah hilangnya hutan negara.
Pandangan ini menunjukkan adanya ketegangan paradigma antara tugas Perhutani menjaga aset negara dan hak kelola rakyat yang dijamin melalui program Reforma Agraria.
Kasus di Kajengan memperkuat data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang mencatat lebih dari 200 konflik agraria baru sepanjang 2023–2024, hampir separuhnya melibatkan kawasan hutan dan Perhutani.
Ini menyoroti masalah implementasi program Reforma Agraria di tingkat lapangan, yang kerap terkendala oleh penentuan batas areal yang tidak jelas dan keengganan pejabat lokal menandatangani peralihan operasional, memicu frustrasi di kalangan petani yang menuntut kepastian hukum nyata alih-alih sekadar janji di atas kertas.







Tidak ada komentar: